I. PENDAHULUAN
1.1. Pengantar
Salah satu masalah pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah
adalah masih adanya pola pembelajaran yang sangat teoritis dan kurang
bervariasi. Kegiatan pembelajaran di kelas sering textbook oriented dan kurang
dikaitkan dengan lingkungan dan situasi dimana siswa berada. Seringkali
kegiatan kelas melalui metode ceramah dan diikuti dengan latihan mengerjakan
soal-soal atau pemberian tugas rumah. Hal ini dapat membuat siswa sering
merasa bosan dan motivasi belajarnya juga menurun.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu ada kegiatan pelatihan atau
penyegaran bagi guru-guru agar lebih mendalami berbagai metode dan teknik
yang nantinya dapat mereka terapkan di kelas masing-masing. Melalui pelatihan
yang bersifat “learning by doing”, yaitu antara lain lebih banyak berupa kegiatan
praktek diharapkan guru akan lebih kreatif, dan mampu mengembangkan
kegiatan pembelajaran yang lebih bermakna. Pola pembelajaran dengan teknik
yang bervariasi diharapkan dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan
menyenangkan bagi siswa.
Untuk dapat memahami dan melaksanakan dengan benar, guru perlu
memiliki latar belakang pengetahuan tentang beberapa teori pembelajaran. Teori
ini merupakan dasar pemikiran untuk dikembangkan dalam bentuk kegiatan atau
teknik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan kelas.adalah masih adanya pola pembelajaran yang sangat teoritis dan kurang
bervariasi. Kegiatan pembelajaran di kelas sering textbook oriented dan kurang
dikaitkan dengan lingkungan dan situasi dimana siswa berada. Seringkali
kegiatan kelas melalui metode ceramah dan diikuti dengan latihan mengerjakan
soal-soal atau pemberian tugas rumah. Hal ini dapat membuat siswa sering
merasa bosan dan motivasi belajarnya juga menurun.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu ada kegiatan pelatihan atau
penyegaran bagi guru-guru agar lebih mendalami berbagai metode dan teknik
yang nantinya dapat mereka terapkan di kelas masing-masing. Melalui pelatihan
yang bersifat “learning by doing”, yaitu antara lain lebih banyak berupa kegiatan
praktek diharapkan guru akan lebih kreatif, dan mampu mengembangkan
kegiatan pembelajaran yang lebih bermakna. Pola pembelajaran dengan teknik
yang bervariasi diharapkan dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan
menyenangkan bagi siswa.
Untuk dapat memahami dan melaksanakan dengan benar, guru perlu
memiliki latar belakang pengetahuan tentang beberapa teori pembelajaran. Teori
ini merupakan dasar pemikiran untuk dikembangkan dalam bentuk kegiatan atau
1.2. Tujuan
Secara umum, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan
pemahaman tentang teori pembelajaran yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk mengembangkan model pembelajaran dengan berbagai teknik/strategi.
Adapun tujuan khususnya antara lain untuk:
a) menjelaskan beberapa teori yang relevan untuk mengembangkan model
pembelajaran;
b) membahas beberapa model pembelajaran yang sesuai untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah;
c) mendiskusikan kelebihan dan kelemahan beberapa metode/teknik;
d) mengembangkan model pembelajaran dengan menggunakan teknik-teknik
yang cocok untuk mata pelajaran tertentu;
1.3. Sasaran
Sasaran kegiatan ini adalah terlatihnya sejumlah guru berbagai mata
pelajaran agar terampil dan mampu mengembangkan serta menerapkan
berbagai model pembelajaran dengan teknik-teknik yang sesuai dengan bidang
studi dan jenjangnya masing-masing. Guru peserta pelatihan lebih terampil
dengan adanya berbagai kegiatan dan “sharing” dengan guru lain dalam bentuk
diskusi/interaksi sosial.
1.4. Materi Pelatihan
Bagian ini menyajikan materi pokok mengenai teori belajar dengan
tokohnya, beberapa model pembelajaran yaitu CTL, PAKEM, Pembelajaran
Kooperatif, Keterampilan Proses, dan beberapa contoh kegiatan atau teknik
praktis yang diharapkan dapat membuat kegiatan belajar mengajar lebih menarik
dan inovatif.
II. TEORI BELAJAR
Untuk memahami kegiatan dan proses belajar serta faktor-faktor yang
menghambat kelancaran proses belajar, guru perlu memahami beberapa teori
belajar. Pemahaman teori belajar memungkinkan guru dapat memprediksi hasil
belajar serta membuat hipotesis kemajuan belajar siswa. Selain itu dengan
bantuan teori, konsep dan prinsip-prinsip pembelajaran guru dapat mengelola
pembelajaran menjadi lebih baik.
Terdapat perbedaan sudut pandang tentang teori dan proses belajar
merupakan hal yang wajar. Namun perlu kita kaji kembali tiga teori yang paling
sering disebut sebagai dasar pembelajaran, yaitu behaviourism, cognitivism dan
constructivism.
2.1. Behaviourism
Menurut aliran Behaviourism, belajar adalah perubahan dalam tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Terjadinya
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah
laku dengan cara yang baru adalah hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Meskipun semua penganut aliran ini setuju dengan premis dasar ini, namun
mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting.
Menurut teori ini pebelajar sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di
dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman tertentu
kepadanya. Belajar atau learning terjadi bila ada perubahan tingkah laku
yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respons), yaitu suatu
proses yang memberikan respons tertentu terhadap kejadian yang datang
dari luar.
Proses S-R ini terdiri beberapa unsur, yaitu
(1) unsur dorongan atau drive. Siswa merasakan adanya dorongan
kebutuhan ini;
(2) adanya rangsangan atau stimulus. Kepada siswa diberikan stimulus
yang dapat memberikan respons;
(3) respons dari siswa yang berupa suatu reaksi (respons) terhadap
stimulus yang diterimanya misalnya dengan melakukan tindakan nyata;
(4) unsur penguatan (reinforcement) yang perlu diberikan kepada pebelajar
agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons lagi.
Berikut tiga pakar Behaviourism yang berpandangan sama dalam hal
S-R, yaitu hubungan stimulus-respon, namun juga berbeda pendapat dalam
hal wujud dan faktor-faktor yang terjadi dalam proses belajar. (sumber:
Bahan Ajar PEKERTI, 1995. Dikti).
a) Thorndike
Menurut Thorndike salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar
adalah proses interaksi antara Stimulus (yang mungkin berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan) dan Respon (yang juga bisa berbentuk pikiran,
perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan
tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati),
atau yang non-konkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya
mengukur berbagai tingkah laku yang non-konkret itu. Tetapi teori
Thorndike telah banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang
datang sesudahnya. Teori Thorndike ini juga disebut sebagai aliran
Koneksionis (Connectionism). Perlu diketahui bahwa pengukuran adalah
satu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku.
b) Watson
Menurut Watson, pelopor lain yang datang sesudah Thomdike,
stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang "bisa
diamati" (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai
perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan
menganggapnya sebagai factor yang tak perlu diketahui. Hal ini tidak
berarti bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa
tidak penting. Semua itu penting. Tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa
menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, kata Watson, kita bisa
meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Dan hanya
dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik.
Kita dapat melihat bahwa penganut aliran tingkah laku lebih suka
memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun
mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Teori Watson ini
juga disebut sebagai aliran Tingkah Laku (Behaviorism).
c) Skinner
Skinner, yang datang kemudian, mempunyai pendapat lain lagi dan
mampu “menyederhanakan” kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep-
konsep yang ada dalam teorinya itu.
Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan
lingkungan) menurut versi Watson tersebut di atas adalah deskripsi yang
tidak lengkap. Respon yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu,
sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu
dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respon yang
dihasilkan. Sedangkan respon yang diberikan ini juga menghasilkan
berbagai konsekwensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah
laku si siswa.
Karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, kita
harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya,
memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwensi yang diakibatkan
oleh respon tersebut (Bell-Gredler, 1986).
Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-
perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab “alat”
itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan
bahwa “seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami
frustasi” akan menuntut kita untuk menjelaskan “apa itu frustasi”. Dan
teori Skinner ini besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar.
2.2. Cognitivism
Cognitivism menyatakan bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri.
Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini
sangat erat berhubungan dengan teori sibemetik.
Pada masa-masa awal mulai diperkenalkannya teori ini. Para ahli
mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana
siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku
masih terlihat di sini).
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu
melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses
ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang
mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh.
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam
"
tahap-tahap
perkembangan" yang diusulkan oleh Jean Piaget, "belajar bermakna"-nya
Ausubel, “belajar penemuan secara babas" (free discovery learning) oleh
Jerome Bruner, dan teori interaksi sosial (Socially Mediated Learning) dengan
model ZPD-nya Vygotsky.
a) Piaget
Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Piaget membaginya menjadi empat
tahap, yaitu:
1. tahap Sensorimotor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun),
2. tahap Praoperasional (2/3 sampai 7/8 tahun),
3. tahap Operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan
4. tahap Operasional Formal (14 tahun atau lebih).
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu
lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua
(praoperasional), dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke
tahap yang lebih tinggi (operational konkrit dan operasional formal). Secara
umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga
semakin abstrak) cara berpikirnya. Maka, guru seyogyanya memahami
tahap-tahap perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi
pelajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Guru yang mengajar harus memperhatikan tahapan-tahapan ini agar
tidak menyulitkan siswanya. Misalnya saja,mengajarkan konsep-konsep
abstrak tentang Pancasila kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa
adanya usaha untuk "mengkonkretkan'' konsep-konsep tersebut.
b) Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut
"pengatur kemajuan belajar (Advance Organizers) didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan
belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup)
semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa "advance organizers" dapat memberikan tiga
macam manfaat, yakni:
1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang
akan dipelajari oleh siswa;
2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang
sedang dipelajari siswa "saat ini" dengan apa yang "akan" dipelajari siswa;
dan
3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih
mudah.
Untuk ini, pengetahuan dan penguasaan guru terhadap isi mata
pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan
mampu menemukan informasi, yang manurut Ausubel "sangat abstrak,
umum, dan inklusif", yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu,
logika pikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir
yang baik, guru akan mendapat kesulitan memilah-milah materi pelajaran,
merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan
materi demi materi ini ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah
dipahami.
c) Bruner
Bruner mengusulkan teorinya yang disebut "free discovery learning".
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila guru kreatif
dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, teori, definisi) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami
suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep "kejujuran"
, misalnya,
siswa tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari
contoh-contoh konkret tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa
dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran"
.
Lawan dari pendekatan ini disebut "belajar ekspositori" (belajar dengan
cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan
diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan
konkret. Dalam contoh di atas, siswa pertama-tama diberi definisi tentang
"kejujuran"
, dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh
konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut. Proses belajar ini
jelas berjalan secara deduktif.
Istilah strategi kognitif dipakai oleh Arends (1988) untuk strategi berpikir
yang bersifat komplek yang berkenaan dengan kecakapan menerima,
menyimpan, dan mencari kembali informasi.
2.3. Constructivism
Menurut ahli para Constructivism, “belajar” merupakan pemakna
pengetahuan. Sedangkan pengetahuan bersifat temporer, selalu berubah.
Karena segala sesuatu bersifat temporer maka manusialah yang harus
memberi makna terhadap realitas. Dalam hal ini belajar adalah proses
pemaknaan informasi baru.
Pada kenyataannya kita tidak pernah memperoleh pengetahuan yang
telah jadi atau dalam paket-paket, yang dapat dipersepsi secara langsung.
Semua pengetahuan, metode untuk mengetahui, dan berbagai disiplin ilmu
yang ada dalam masyarakat dibangun (constructed) oleh pikiran manusia.
Constructivism adalah salah satu filsafat yang percaya bahwa
pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri
(Von Glasersfeld, 1988 dan Matthews, 1944 dalam Suparno 1997).
Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada, tetapi
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus dan
setiap kali ada reorganisasi karena terjadi suatu pemahaman baru.
Para ahli teori konstruktif percaya bahwa pengetahuan itu tidak dapat
begitu saja dipindahkan dari otak seseorang (guru) ke kepala yang diajar
(siswa). Siswa sendiri yang harus mengartikan atau memberi makna apa
yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman—
pengalaman mereka. (Lorsbach & Tobin, 1992 dalam Suparno, 1997).
Maka penting bagi calon guru, menurut Northfield, Gunstone, dan
Erickson (1996) untuk selalu aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Guru
perlu belajar bagaimana mengajar secara konstruktif, mendalami bahan dan
bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Salah satu dasar atau prinsip
pembelajaran kontekstual (CTL) adalah filsafat konstruktivisme.
Berdasarkan sejumlah literatur tentang konstruktivisme, Widodo (2004)
mengidentifikasi lima hal penting yang berkaitan dengan pembelajaran.
· Pertama, pembelajar telah memiliki pengetahuan awal
Tidak ada pembelajar yang otaknya benar-benar kosong. Pengetahuan
awal yang dimiliki pembelajar memainkan peran penting pada seat dia
belajar tentang sesuatu hal yang ada kaitannya dengan apa yang telah
diketahui.
· Kedua, belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengetahuan
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki
Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari suatu sumber ke penerima, namun
pembelajar sendirilah yang mengkonstruk pengetahuan.
· Ketiga, be/ajar adalah perubahan konsepsi pembelajar
Karena pembelajar telah memiliki pengetahuan awal, maka belajar adalah
proses mengubah pengetahuan awal siswa sehingga sesuai dengan
konsep yang diyakini "benar" atau agar pengetahuan awal siswa bisa
berkembang menjadi suatu konstruk pengetahuan yang lebih besar.
· Keempat, proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu
konteks sosial tertentu.
Sekalipun proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam otak
masing-masing individu, namun sosial memainkan peran penting dalam
proses tersebut sebab individu tidak terpisah dari individu lainnya.
· Kelima, pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Guru atau siapapun tidak dapat memaksa siswa untuk belajar sebab tidak
ada seorangpun yang bisa "mengatur" proses berpikir orang lain. Guru
hanyalah menyiapkan kondisi yang memungkinkan siswa belajar, namun
apakah siswa benar-benar belajar tergantung sepenuhnya pada diri
pembelajar itu sendiri.
Demikianlah beberapa teori yang sebaiknya diketahui guru agar mereka
dapat mengembangkan berbagai strategi untuk melaksanakan kegiatan belajar
mengajar yang dilandasi dengan teori yang sesuai untuk menguatkan strategi
atau kegiatan yang akan dilakukan di kelasnya. Berikut beberapa contoh model
dan strategi yang mungkin bermanfaat untuk dikembangkan oleh guru.
III. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
(CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING: CTL)
3.1. Pengantar
Pembelajaran kontekstual atau CTL merupakan salah satu topik yang
selalu hangat dibicarakan di dunia pendidikan.
Pada tahun 1983 ada suatu reformasi pendidikan di Amerika Serikat yang
diketahui adanya suatu penurunan kualitas hasil belajar. Reformasi ini diikuti
dengan suatu pertemuan tingkat tinggi tentang pendidikan. Pertemuan
pendidikan ini bersifat nasional dan dihadiri oleh para gubernur negara bagian
dan presiden USA. Peserta pertemuan
sepakat untuk dapat memperbaiki kualitas
pendidikan dengan upaya agar tercapai
tahun 2000. Beberapa perguruan tinggi
bekerja sama dengan guru di lapangan
untuk mengembangkan dan
melaksanakan suatu sistem pembelajaran
yang mereka sebut sebagai “Contextual
Teaching and Learning” atau CTL.
Pembelajaran kontekstual secara resmi diperkenalkan di Indonesia pada
awal tahun 2001 ketika Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama mengirim
sejumlah guru (90 orang) mengikuti “Short Fellowship Training” di University of
Washington, USA pada akhir 2001 dan awal 2002. Guru-guru tersebut adalah
guru SMP pengajar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, Fisika dan
Biologi dari Propinsi Sulawesi Utara, Tengah dan Tenggara, Propinsi Gorontalo,
Kalimantan Timur dan Selatan.
Selama 1 (satu) bulan guru-guru tersebut mengikuti perkuliahan, lokakarya
dan kunjungan lapangan (sekolah-sekolah). Setelah pelatihan selesai mereka
tinggal di Surabaya guru matapelajaran Biologi, Matematika dan Fisika.
Sedangkan guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dilatih lagi di Malang
selama sebulan. Mereka menyusun persiapan mengajar dan usulan kegiatan
berupa usulan atau program pelatihan guru di propinsi masing-masing.
Pada tahun 2002 dilakukan uji coba CTL di 31 SLTP/MTs yang tersebar di
enam propinsi cakupan proyek di bawah
Direktorat PLP. Dari hasil uji coba terindikasi
pembelajaran CTL mampu meningkatkan
interaksi belajar di kelas, membuat siswa lebih
termotivasi dalam belajar dan siswa lebih bisa
berfikir kritis. Oleh karena itu telah diambil
kebijakan untuk meluaskan penerapan CTL di
sekolah-sekolah rintisan yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini ada sekitar
1000 (seribu) sekolah yang telah menggunakan pendekatan CTL.
Untuk memahami pembelajaran kontekstual perlu kita cermati definisi-
definisi berikut.
3.2. Apakah CTL?
1) CTL adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa
memahami makna yang ada pada bahan ajar yang mereka pelajari dengan
menghubungkan pelajaran dalam kontek kehidupan sehari-harinya dengan
kontek kehidupan pribadi, sosial dan kultural. Untuk mencapai tujuan ini,
sistem ini mencakup 8 komponen: membuat hubungan yang bermakna.,
melahirkan kegiatan yang signifikan, belajar sendiri secara teratur,
kolaborasi, berpikir kritis dan kreatif, mencapai standar tinggi, dan
menggunakan penilain otentik (Johnson, 2003)
2) Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan
belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata
pelajarannya dengan situasi nyata yang dapat memotivasi siswa untuk dapat
menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-
hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota
masyarakat dimana dia hidup (US Department of Education, 2001).
3) Contextual Teaching and Learning adalah pembelajaran yang situasi dan
isinya khusus dan memberi kesempatan siswa dapat melakukan pemecahan
masalah, latihan dan tugas secara riil dan otentik. (Universitas Negeri
Malang, guru CTL, mahasiswa S2).
4) Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep yang membantu
guru menghubungkan matapelajarannya dengan situasi dunia nyata (Sears,
2001).
Pendekatan Kontekstual ini di Amerika Serikat berkembang sesuai dengan
situasi negara bagian, perguruan tinggi pembina dan sekolah menengah yang
mengimplementasikannya. Perlu diketahui bahwa CTL di Indonesia adalah hasil
adaptasi CTL yang dikembangkan oleh C-Star School of Education, University of
Washington. Pendekatan ini kemudian diadaptasi oleh para guru CTL Indonesia
disesuaikan dengan situasi dan kondisi alam Indonesia. Berikut tujuh konsep
yang mendasari pembelajaran bernuansa CTL.
Konstruktivisme
1. Membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman
baru berdasarkan pada pengalaman awal.
2. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui penglaman-
pengalaman belajar bermakna.
3. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru yang bisa berubah.
Inquiri
1. Diawali dengan kegiatan pengamatan dalam rangka untuk memahami
suatu konsep.
2. Langkah-langkah yang terdiri dari kegiatan mengamati, bertanya,
menganalisa dan merumuskan teori, baik secara individu maupan
bersama-sama dengan teman lainnya.
3. Mengembangkan dan sekaligus menggunakan keterampilan berfikir kritis.
Bertanya
1. Digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai
kemampuan berfikir siswa.
2. Digunakanoleh siswa selama melakukari kegiatan berbasis inquiri.
3. digunakan guru sebagai strategi agar siswa berani mengungkapkan
kemampuan memberi jawaban/informasi.
Pemodelan
1. Berfikir dan mengungkapkan tentang proses belajar Anda sendiri.
2. Mendemonstrasikan bagaimana Anda menginginkan siswa untuk belajar.
3. Melakukan apa yang Anda inginkan agar siswa melakukan.
Komunitas Belajar
1. Berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain.
2. Bekerjasama dengan orang lain untuk rnenciptakan-pembelajaran adalah
lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri.
3. Berdiskusi dan menggali informasi bersama tentang suatu objek.
Penilaian Otentik
1. Mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa.
2. Mempersyaratkan penerapan pengetahuan atau ketrarnpilan.
3. Penilaian produk atau kinerja.
4. Tugas-tugas yang kontekstual dan relevan.
5. Proses dan produk dua-duanya dapat diukur.
Refleksi
1. Cara-cara berfikir tentang apa yang telah kita pelajari.
2. Mengkaji dan merespon terhadap kejadian, kegiatan, dan pengalaman.
3. Mencatat apa yang telah kita pelajari, bagaimana kita merasakan ide-ide
baru.
4. Dapat berupa dalam berbagai bentuk: jurnal, diskusi, maupan hasil
karya/seni.
IV. PAKEM
PAKEM adalah pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang
mulanya merupakan pembelajaran yang semula dicanangkan di TK dan SD.
Dengan adanya krisis ekonomi beserta segala dampaknya maka desentralisasi
atau otonomi daerah menuntut adanya mutu pendidikan yang kompetitive. Salah
satu upaya dalam otonomi ini adalah perlunya perbaikan pada pendidikan awal
ini di daerah masing-masing.
Pembelajaran di TK dan SD yang aktif dan
kreatif menuntut banyak kegiatan praktek dan
siswa perlu bekerja dalam tim. Dengan kegiatan
praktek dan bekerja dengan anggota tim berarti
siswa melakukan interaksi sosial. Apalagi bila
program pendidikan tersebut memanfaatkan
lingkungan sekitar, siswa akan mengenal
lingkungannya dan dapat menghubungkan apa yang diperoleh di kelas dengan
dunia nyata. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan pembelajaran sebaiknya
dilaksanakan di dalam dan di luar kelas.
Pembelajaran untuk anak usia TK dan SD perlu diperhatikan logika,
praktika dan estetika. Untuk itu penggunaan multimedia akan menunjang
keberhasilan belajar. Komponen utama PAKEM antara lain tersedianya
kurikulum dengan perangkatnya, sarana dan prasaraa yang cukup. Selain itu ada
sumber daya manusia yang cukup profesional dan sistem manajemen yang baik.
Standarisasi mutu pendidikan dilakukan secara berkelanjutan untuk menghadapi
tuntutan lokal, nasional dan global.
Pada saat ini banyak sekolah dasar yang telah melaksanakan PAKEM,
antara lain sekolah yang TK-SD nya satu atap atau satu lokasi. Dengan adanya
TK menjadi satu atap dengan SD berarti juga dapat menaikkan layanan
pendidikan. Jumlah TK-SD nya satu atap sudah lebih dari 1000 TK-SD.
Pembelajaran yang memiliki berbagai macam kegiatan yang kreatif dan efektif
serta merupakan sekolah percontohan yang juga disebut sebagai SD Rujukan,
SD Model, dan Sekolah Dasar Koalisi.
Dalam kenyataannya PAKEM tidak hanya untuk pendidikan awal,
karakteristik yang ada dalam pembelajaran ini juga tercakup dalam model
pembelajaran di tingkat menengah dan tinggi. Ciri-ciri umum dari pembelajaran
yang baik berlaku untuk semua jenjang dan semua bidang studi. Dalam
pelaksanaannya kita memiliki dan memilah mana yang cocok untuk
matapelajaran kita dan sesuai dengan kebutuhan saat itu berdasarkan tujuan
untuk mencapai kompetensi atau keterampilan apa.
Model pembelajaran yang bercirikan PAKEM adalah pembelajaran yang
mendorong peserta didik aktif secara fisik, sosial dan mental untuk dapat
memahami dan mengembangkan kecakapan hidup.
Pembelajaran ini menuntut guru dan siswa untuk aktif.
Guru aktif:
• memantau kegiatan belajar siswa
• memberi umpan balik sesuai kebutuhan
• mengajukan pertanyaan yang menantang dan membuat siswa berpikir
• mempertanyakan gagasan siswa dengan mengemukakan alasan.
Adapun siswa aktif bila bisa:
• membangun konsep dan apa yang sudah diketahui
• bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami
• mengemukakan gagasan sendiri atau kelompok
• mempertanyakan gagasan baru
• melakukan kegiatan yang ada hubungannya dengan pokok bahasan
yang ada
Pembelajaran ini, perlu guru yang kreatif, antara lain dapat:
• mengembangkan kegiatan yang menarik dan bervariasi
• membuat alat bantu belajar disamping alat yang sudah ada
• memanfaatkan lingkungan untuk dikaitkan dengan bahan ajar/ilmu yang
didapat dalam kelas.
Sedangkan siswa yang kreatif adalah siswa yang dapat
• merancang/membuat sesuatu secara mandiri atau kelompok
• menulis/mengarang atau melaporkan apa yang dihasilkan sebagai
pemerolehan belajar yang dikembangkan.
Pembelajaran ini efektif bila dapat mencapaikan potensi yang telah dirumuskan
atau mencapai tujuan pembelajaran dan siswa memperoleh atau mencapai
kompetensi yang diharapkan.
Pembelajaran yang menyenangkan, tidak membuat anak takut:
· takut salah
· takut ditertawakan
· takut dianggap sepele
Pembelajaran menyenangkan bila pembelajaran:
membuat anak:
* berani mencoba/berbuat sesuatu yang sesuai keinginan;
* berani bertanya bila kurang paham atau ingin tahu lebih banyak;
* berani mengemukakan pendapat/ gagasan, serta
* berani mempertanyakan gagasan orang lain.
V. COOPERATIVE LEARNING (PEMBELAJARAN KOOPERATIF)
Cooperative learning (CL) atau pembelajaran kooperatif membuat siswa
yang bekerja dalam kelompok akan belajar lebih banyak dibandingkan dengan
siswa yang kelasnya dikelola secara tradisional. Kelough & Kelough (1999)
mendefinisikan cooperative learning sebagai suatu macam strategi pembelajaran
secara berkelompok, siswa belajar bersama dan saling membantu dalam
membuat tugas dengan penekanan pada saling support diantara anggota.
Pembelajaran bersifat kooperatif, bukan kompetitif. Oleh karena itu keberhasilan
belajar adalah keberhasilan kelompok.
Menurut Teori Motivasi, tujuan belajar kooperatif adalah untuk menciptakan
suatu situasi dimana keberhasilan dapat tercapai bila siswa lain juga mencapai
tujuan tersebut. Beberapa ciri pembelajaran kooperatif antara lain sebagai
berikut.
Ada lima prinsip mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu:
1) positive interdependence: saling tergantung secara positif, artinya
anggota kelompok menyadari bahwa mereka perlu bekerja sama untuk
mencapai tujuan.
2) Face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling
berhadapan.
3) Individual accountability: setiap anggota harus belajar dan
menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok.
4) Use of collaborative/social skills: keterampilan bekerjasama dan
bersosialisasi diperlukan, untuk ini diperlukan bimbingan guru agar
siswa dapat berkolaborasi.
5) Group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja
secara efektif.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam CL:
- Hasil kerja adalah hasil kelompok.
- Penghargaan adalah untuk kelompok bukan untuk perorangan.
- Setiap anggota mempunyai peran/tugas yang merupakan bagian dari
tugas kelompok.
- Antar anggota saling memberi dorongan dan saling membantu.
- Guru memberi feedback untuk kelompok.
- Semua anggota kelompok bertanggung jawab atas tugas kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif dapat dilaksanakan dalam semua matapelajaran
atau bidang studi baik untuk pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan
tinggi. Ada beberapa macam CL, tiga diantaranya yang sering dilakukan adalah
1) Think-Pair-Share; 2) Think-Pair-Square; dan 3) Expert Group.
Sebenarnya tujuan umum ketiga CL ini hampir sama yaitu meningkatkan
kualitas pembelajaran antara lain melalui kegiatan wawancara, diskusi, tanya-
jawab yang membuat siswa berpikir dan berinteraksi lebih banyak.
5.1. Think-Pair-Share
Prosedur pelaksanaan Think-Pair-Share sebagai berikut:
1) guru memberi satu topik atau masalah kepada siswa;
2) siswa berpikir tentang topik/masalah tersebut secara individual. Kemudian
siswa diminta untuk berpasangan (in-pair) meneruskan pembicaraan dengan
saling melengkapi;
3) siswa membicarakan dengan pasangan masing-masing tentang topik tersebut
serta saling mengemukakan apa yang mereka ketahui tentang topik tersebut
dan apa lagi yang perlu diketahui atau perlu dicari untuk dapat menjawab
atau menghasilkan solusi;
4) kemudian, guru meminta beberapa siswa untuk berbagi jawaban (share)
dengan seluruh siswa di kelas.
5.2. Think-Pair-Square
Ada perbedaan sedikit pada tahap akhir, untuk Think-Pair-Square. Setelah
siswa mendapat topik dari guru (gambar 1), mereka diberi waktu untuk
memikirkan topik (gambar 2) dan mengingat apa yang telah mereka ketahui.
Kemudian mereka secara berpasangan membicarakan bersama (gambar 3).
Setelah diskusi dan berbagi informasi secara berpasangan, siswa diminta untuk
membicarakan topik atau masalah tersebut dengan pasangan lain (gambar 4).
Bekerja sama antara 4 (empat) siswa yang saling berhadapan membentuk empat
sudut ini yang disebut “square” (segi empat).
5.3. Expert Group (Kelompok Ahli)
Pembelajaran kooperatif dapat, misalnya “jigsaw” membuat siswa untuk
saling mengajari satu siswa yang lain. Biasanya prosedurnya sebagai berikut.
1. Setiap siswa dalam kelompok diberi nomor. Semua anggota dengan nomor
yang sama akan membentuk suatu grup ahli (expert group).
2. Bahan diskusi diberi oleh guru. Siswa mendiskusikan bahan yang telah
dibagi menjadi bagian-bagian. Setiap bagian bahan ditangani oleh group ahli
(expert group).
3. Setelah pembicaraan matang, terakhir setiap anggota grup kembali ke
induknya (Home group).
4. Setiap anggota di Home group memberitahu apa yang telah dipelajari di
Expert-group. Semua anggota Home-group akan melengkapi atau
menyelesaikan tugas menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari Expert
group.
VI. PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PROSES
Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses cocok untuk
pembelajaran IPA atau Sains. Keterampilan dasar yang dapat dilatihkan dalam
Pembelajaran Keterampilan Proses antara lain keterampilan untuk melakukan
- Pengamatan (observasi)
- penggunaan hubungan ruang/waktu
- klasifikasi atau memilah
- penggunaan bilangan dan kode-kode teknis
- pengukuran (luas, berat, isi)
- komunikasi
- inferensi
Keterampilan proses dapat bersifat terpadu, seperti
- pengontrolan variabel
- penginterpretasian data atau informasi yang ada
- perumusan hipotesis
- pendefinisian variabel secara operasional
- eksperimen/percobaan
Dalam pembelajaran ini keterampilan untuk melakukan observasi, prediksi
dan inferensi merupakan suatu proses yang utuh yang dapat diterapkan dan
dikembangkan dalam satu pembelajaran dengan topik/objek tertentu, misalnya:
- observasi (pengamatan) dilakukan untuk mendeskripsikan obyek secara
detail;
- pengamatan dapat secara kualitatif atau kuantitatif;
- prediksi, kegiatan menduga kejadian yang akan datang berdasarkan data
yang diperoleh atau yang sudah ada;
- prediksi didasarkan pada hasil observasi dan inferensi yang selanjutnya
inferensi dibuat berdasarkan fakta hasil observasi.
Dalam pembelajaran ini seseorang dapat menginferensikan dengan baik bila dia
dapat membedakan antara observasi, inferensi dan prediksi.
VII. PROBLEM-BASED LEARNING
(PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH)
Problem-based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan
pembelajaran atau metoda mengajar yang fokusnya pada siswa dengan
mengarahkan siswa menjadi pebelajar mandiri yang terlibat langsung secara aktif
terlibat dalam pembelajaran berkelompok. PBL membantu siswa untuk
mengembangkan keterampilan mereka dalam memberikan alasan dan berpikir
ketika mereka mencari data atau informasi agar mendapatkan solusi untuk suatu
masalah yang otentik.
Pada umumnya siswa sudah sering diperkenalkan dengan keterampilan-
keterampilan pemecahan masalah atau problem-solving skills seperti membuat
tabulasi, menyusun daftar, menghitung persentase, dsb. Biasanya para guru
mengaplikasikan strategi “problem solving” ini untuk menyelesaikan soal-soal
yang berkenaan dengan pokok bahasan mata pelajarannya. Selain itu, siswa
menggunakan keterapilan-keterampilan ini di dalam kelas untuk memecahkan
msalah rutin yang biasanya diarahkan oleh guru. Siswa kurang atau tidak
menggunakan keterampilan mereka di luar kelas untuk memecahkan masalah
kehidupan nyata milik mereka sendiri.
Sedangkan PBL lebih menjurus pada pemecahan suatu masalah
kehidupan nyata yang mungkin dihadapi siswa dengan menggunakan
keterampilan-keterampilan “problem-solving”. Model pembelajaran ini biasanya
berbentuk suatu proyek untuk diselesaikan oleh sekelompok siswa yang harus
bekerjasama (work collaboratively in terms). Bila siswa memahami proses PBL
dengan bimbingan guru, siswa bebas untuk menentukan apa yang ingin mereka
pelajari dan ingin diketahui.
Banyak macam strategi yang dapat dipakai untuk mengimplementasikan
PBL, namun pada dasarnya langkah-langkahnya sebagai berikut.
1. Siswa diberi suatu masalah.
2. Dalam kelompok-kelompok kecil, siswa mendiskusikan masalah tersebut
dengan menggunakan pengetahuan yang telah mereka miliki, serta
mengerjakan apa yang perlu diketahui. Bagian ini juga mencakup membuat
pernyataan-pernyataan masalah dan membuat hipotesa-hipotesa.
3. Kemudian siswa mencari data tentang hal-hal yang diperlukan atau
informasi yang belum ada.
4. Siswa berkumpul kembali dengan kelompoknya untuk melaporkan apa saja
yang telah mereka pelajari.
5. Langkah-langkah ini akan berulang beberapa kali, berdiskusi, mencari
informasi, melaporkan ke kelompok, diskusi lagi sampai kelompok
mendapatkan solusinya.
6. Kegiatan akhir merupakan kegiatan diskusi penutup, yaitu bila informasi
yang mereka pelajari dan proses telah sampai pada suatu solusi.
Dalam proses pelaksanaan siswa memanfaatkan berbagai sumber
(perpustakaan, brosur, dll). Untuk mengukur pemerolehan belajar dan kemajuan
kelompok siswa berbagai bentuk asesmen dilakukan. Setiap proyek refleksinya
yang menggambarkan apa yang telah dipelajari siswa.
PBL biasanya memerlukan waktu banyak, misalnya bisa sampai 4—6
minggu. Walaupun PBL memerlukan banyak waktu, pembelajaran ini jelas
sangat membantu siswa untuk memeperbaiki dan meningkatkan keterampilan
dan kemampuan siswa. Dalam proses panjang pencarian informasi mereka
belajar dan saling membantu.
Berikut ada beberapa contoh kegiatan yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran untuk berbagai pokok bahasan dalam mata pelajaran yang ada di
sekolah.
Venn Diagram
Venn Diagram dapat untuk kegiatan mandiri, berpasangan, dan kelompok.
Tujuan utamanya adalah untuk melatih siswa agar terampil mengidentifikasi atau
melihat persamaan dan perbedaan dua konsep/hal secara jelas.
Dua lingkaran besar yang membentuk tiga ruangan untuk diisi dengan kata-
kata yang menunjukkan di ruang tengah. Tingkat kesulitan disesuaikan dengan
tingkat kesulitan jenjang pendidikan yang ada (SD/MI; SMP/MTs; SMA/MA;
kelas, semester).
Mind/Concept Mapping
Mind/Concept Mapping dimaksudkan agar siswa lebih terampil untuk
menggali pengetahuan awal yang sudah dimiliki dan memperoleh pengetahuan
baru sesuai pengalaman belajarnya.
Biasanya langkahnya adalah sebagai berikut:
• guru memberikan satu konsep utama (major event/idea/concept)
• Siswa diminta mengembangkan konsep tersebut menjadi sub-sub konsep
yang berkaitan (sub events/ideas/concepts)
• Susunlah konsep‡ sub konsep‡ sub-sub konsep sesuai dari yang
paling umum (utama) ke konsep yang lebih spesifik
• Terakhir, susunlah semua dalam untuk tulisan/laporan, dengan
mengkaitkan sub ide-ide tersebuit dan di definisikan bila perlu.